English
English
Tiếng Việt
ภาษาไทย
繁體中文
한국어
Bahasa Indonesia
Español
Português
zu-ZA
0

Market Analysis

Perang Dagang Mereda, Harga Emas Diproyeksi Melandai
Kompas · 321.3K Views

JAKARTA, KOMPAS.com - Gejolak ekonomi global yang perlahan mereda setelah adanya kesepakatan dagang sementara antara Amerika Serikat (AS) dengan China diproyeksikan akan membuat harga emas turun secara perlahan.

Head of Industry & Regional Research Permata Bank, Adjie Harisandi, mengatakan bahwa komoditas emas merupakan aset safe haven. Ketika terjadi tekanan geopolitik dan volatilitas di pasar global, emas cenderung akan dicari oleh investor.

Hal itu praktis juga akan membuat harga emas naik.

Ia menceritakan bahwa pada tahun ini, harga emas dinilai telah mencapai puncaknya beberapa waktu lalu ketika ada ekspektasi perlambatan ekonomi global.

Hal itu juga dipicu oleh kebijakan tarif resiprokal yang dibuat oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kepada 180 negara.

"Seharusnya dengan ketegangan yang sedikit mereda, kami lihat sebetulnya harga emas juga akan cenderung mulai perlahan turun dari titik tertingginya," kata dia usai acara PIER Q1 2025 Economics Review & Media Gathering, Rabu (14/5/2025).

Ia menambahkan bahwa pada dasarnya emas adalah aset yang tidak memberikan imbal hasil secara berkala atau return recurring. Emas hanya menjadi aset untuk penyimpan dan melindungi nilai (store of value).

"Sementara kalau investasi ke dunia usaha atau pasar saham, ada dividen dan itu tergantung pada ekspektasi pertumbuhan ekonomi," imbuh dia.

Artinya, semakin baik ekspektasi pertumbuhan ekonomi, saham biasanya akan semakin diminati karena cenderung akan memberikan dividen yang lebih tinggi.

Adjie mengungkapkan bahwa dengan adanya perbaikan ekspektasi pertumbuhan ekonomi global, harga emas kemungkinan akan terkoreksi secara perlahan. Namun demikian, kondisi ini mungkin tidak akan bertahan hingga akhir tahun.

Pasalnya, volatilitas yang terjadi saat ini sangat terpengaruh oleh kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Amerika Serikat (AS).

"AS adalah negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Apapun kebijakan yang keluar dari mereka pasti akan memengaruhi negara lain. Jadi ya volatilitasnya sejauh ini masih tinggi," tutup dia.

Need Help?
Click Here